Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog PNPM Kabupaten Konawe

Jumat, 06 Desember 2013

BANJIR TERJADI PROGRES TERHENTI ”APA YANG KITA BAWA ?”




Konawe, pnpm-konawe.blogspot.com - Kecamatan Pondidaha adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara dengan luas Wilayah 174 Km2 dengan jumlah Penduduk 11.205 Jiwa dengan Penduduk Laki-laki 5.661 Jiwa dan Perempuan 5.544 Jiwa dengan Kepala Keluarga berjumlah 2.782 KK dengan klasifikasi  558 KK Miskin, 43 KK Sangat Miskin dengan jumlah KK Mampu sebanyak 1.408 KK. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kecamatan Pondidaha sebanyak 17 Desa 1 Kelurahan yang terdiri dari : Desa Tirawuta, Wawolemo, Wowalahumbuti,  Amesiu, Mumundowu, Lalodangge, Wonua Mandara, Hongoa, Puumbinisi, Lalonggotomi, Ahuawatu, Belatu, Laloika, Ambulanu, Sulemandara, Kelurahan Pondidaha, Wonua Monapa dan Lahunggumbi. Dengan banyaknya Desa dan Kelurahan ini Kecamatan Pondidaha dibatasi dengan beberapa wilayah lainnya diantaranya Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembo, Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Besulutu, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Landono dan Sebelah Barat berbatasan dengan Wonggeduku.
Kecamatan Pondidaha merupakan salah satu lokasi PNPM-PPK pada tahun 2007 yang merupakan kebijakan pemerintah untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pada Tahun 2007  Kecamatan Pondidaha & Amonggedo mendapatkan Dana Bantuan PNPM-PPK sebesar Rp.1.250.000.000,- Sementara itu untuk T.A. 2008 ini Kecamatan Pondidaha & Amonggedo mendapatkan kucuran Dana sebesar Rp. 1.000.000.000,- yang  dikenal dengan nama PNPM Mandiri Perdesaan. Sedangkan untuk tahun anggaran 2009 Kecamatan Pondidaha telah berpisah dengan Kecamatan Amonggedo, mendapatkan alokasi dana sebesar Rp. 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah), di TA. 2010 mendapatkan Alokasi dana sebesar Rp. 3.000.000.000,- dan Tahun Angggaran 2011 sebesar Rp. 3.000.000.000,- (Tiga Milyar Rupiah) Namun berhubung karena tidak cairnya dana cost sharing oleh pemda pada tahun yang dimaksud maka dana BLM 20% tahap terakhir tidak dapat dicairkan oleh pusat sehingga dana BLM yang masuk ke rekening BLM Kecamatan Pondidaha hanya 60% dari alokasi atau sebesar RP. 1.800.000.000,-. Untuk tahun Anggaran 2013 Alokasi dana BLM Kecamatan Pondidaha mengalami penurunan drastis yakni sebesar RP. 850.000.000,- Namun untuk tahun anggaran 2013 untuk program PNPM-MP Kecamatan ini baru mulai berproses pada pertengahan bulan Mei 2013, Hal ini dikarenakan oleh keterlambatan penempatan fasilitator yang baru menerima Surat perintah tugas pada tanggal 10 Mei 2013 sehingga jika dibandingkan dengan 20 kecamatan lain progress kegiatannya lebih lambat.
Setelah kurang lebih satu tahun mengalami kekosongan fasilitator dengan kegiatan program hanya berkutat pada kegiatan SPP. Maka pelaksanaan Program Tahun ini sedikit menjadi lebih berat bagi fasilitator karena harus membangun kembali koordinasi yang sudah terputus sekian lama serta membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap program akibat kebijakan pengurangan kecamatan pada tahun sebelumnya.  Namun belum selang lama penempatan fasilitator, pada pertengahan hingga akhir Bulan Juli telah terjadi musibah banjir di Kecamatan Pondidaha yang menengggelamkan 14 Desa yang ada di kecamatan ini dengan total kerugian sebanyak 75 fasilitas umum termasuk di dalamnya Kantor desa, balai desa, Fasilitas pemerintah yang lain, fasilitas kesehatan, rumah ibadah dan bangunan sekolah, termasuk fasilitas umum yang sempat di bangun oleh PNPM-MP dari tahun 2007-2011 ikut terendam banjir, 1.499 rumah, 1.155 Ha sawah siap panen, 140 Ha kebun, 55 Ha tanaman Palawija, 9 Ha empang habis terendam banjir, hewan piaraan dan ternak berupa: 10 ekor sapi, 37 ekor babi, 1.166 ekor ayam, 405 ekor itik, 2.250 ekor bebek mati baik terbawa arus maupun kekurangan bahan makanan serta 25 bangsal batu merah hancur meleleh.  Bahkan padi yang sudah sempat dipanen dan sedang di proses pengeringan di penjemuran juga ikut hanyut terbawa air hanya beberapa saja yang mampu diselamatkan. Sebagian yang lain sudah sempat di panen dan masuk dalam karung namun belum sempat dibawa pulang ke rumah pun ikut terhanyut oleh banjir. Hal ini memberikan penderitaan bagi warga mengingat bulan Juli merupakan bulan dimana anak usia sekolah sudah mulai beraktifitas serta bertepatan dengan masuknya Bulan ramadhan yang mana bagi penganut agama Islam memiliki kewajiban untuk berpuasa dan menghadapi Lebaran tiba. Secara tidak langsung moment tersebut merupakan momen yang cukup menguras persediaan financial warga memasuki tahun ajaran baru bagi anak sekolah, belum lagi menghadapi bulan Ramadhan yang bagi penganut agama Islam merupakan bulan istimewa yang secara tidak langsung pengeluaran untuk kebutuhan hidup juga istimewa baik dari segi jumlah maupun jenisnya
Mata pencaharian mayoritas Penduduk pondidaha adalah petani dan pekebun, awal Bulan Juli 2013 merupakan awal musim panen padi, beberapa diantaranya hasil panen sudah pada tahap pengeringan. Namun sebagian besar belum di panen dikarenakan sejak awal Juli bertepatan dengan musim hujan sehingga warga menunggu cuaca yang mendukung untuk memanen padi mereka dengan harapan memperoleh hasil dan kualitas maksimal. Hanya saja sejak minggu ke dua hujan tak henti mengguyur kecamatan Pondidaha yang berakibat pada meluapnya dua sungai yakni sungai Konaweeha dan sungai Lahumbuti meluap dan menenggelamkan 14 Desa di kecamatan Pondidaha dan beberapa desa di kecamatan sekitarnya. Kondisi ini merupakan musibah banjir terburuk yang menimpa kecamatan Pondidaha dalam beberapa tahun terahir.  yang mana debit air yang menggenang mencapai ketinggian 2 meter lebih, atau setinggi atap rumah penduduk sehingga warga desa yang terendam banjir mengungsi ke desa yang memiliki wilayah ketinggian atau membuat tenda-tenda darurat di tanggul-tanggul sawah di pinggir desa dan kondisi ini masih berlangsung hingga akhir Juli 2013
Aktifitas warga terhambat dikarenakan akses transportasi terputus, untuk mencapai satu desa ke desa lain terutama desa-desa yang ada di bagian dalam harus menggunakan transportasi alternatif berupa rakit baik yang terbuat dari batang pisang ataupun ban mobil serta Katinting. Untuk sarana Transportasi Katinting ini tarifnya cukup mahal yakin       Rp. 25.000,- satu kali menyeberang untuk rute Desa Mumundowu-ahuawatu. Yang biasanya hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk menempuh rute tersebut. Sedangkan untuk menuju desa yang lebih jauh tarif juga menyesuaikan. Sehingga hal ini juga menambah penderitaan warga desa bagian dalam secara khusus dan warga masyarakat lain yang memiliki keperluan ke desa dalam secara umum. Bagi warga desa dalam jangankan untuk mengeluarkan biaya transportasi, untuk kebutuhan makan keseharian pun stok pangan  sudah menipis serta mengharap bantuan dari luar.
Foto: DOC FK/FT Pondidaha
Sehingga hal ini secara tidak langsung menghambat pelaksanaan tahapan program PNPM-MP tahun anggaran 2013 baik tahap perencanaan ataupun pelatihan yang seharusnya dapat terselesaikan pada bulan ini termasuk juga berpengaruh terhadap progres pengembalian SPP Kecamatan pondidaha.
Sebagai fasilitator yang ditugaskan, tentu saja ada teguran lisan dari pihak kabupaten terkait dengan keterlambatan progres. Beberapa kali kami diingatkan agar progres tetap jalan namun kami juga bingung, tahapan mana yang dapat kami laksanakan ditengah-tengah banjir dengan ketinggian hampir 2 meter di 14 desa dari total 18 desa yang ada di kecamatan?. Ditengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki persediaan makanan yang cukup, yang berharap panen namun gagal, yang dengan tiba-tiba di terpa musibah banjir tak terduga hanya dalam hitungan jam?. Ditengah kebingunan karena progres tidak jalan itu ahirnya kami (FK-P dan PL) memutuskan untuk melakukan survey di desa bagian dalam yang merupakan wilayah terparah yang terkena banjir. Untuk menghemat biaya sewa penyeberangan dan agar lebih banyak daerah yang bisa kami jangkau maka kami menyewa perahu kecil milik warga sekitar dengan tarif yang telah kami sepakati bersama. Hampir setengah hari kami mengelilingi desa bagian dalam tanpa turun dari perahu karena rata-rata kedalaman air baik di jalan maupun di pemukiman warga hampir mencapai 2 meter bahkan lebih. Hanya beberapa warga yang dapat kami jumpai bertahan di rumah masing-masing itupun dengan alasan mereka menghawatirkan harta benda mereka yang masih tersisa yang bisa diselamatkan dari genangan air. Karena ternyata ditengah musibah seperti itupun masih ada juga yang tega mencuri dan melakukan penjarahan. Kasian memang ibarat sudah jatuh di timpa tangga pula.
Teman-teman pelaku tingkat desa hanya beberapa saja yang dapat kami jumpai adapun yang masih bertahan mereka membuat panggung-panggung darurat juga rakit darurat dari kayu atau batang pohon pisang yang bisa mereka peroleh. Tidur ditengah-tengah barang mereka yang masih tersisa dalam kondisi yang sama sekali jauh dari kenyamanan bahkan untuk sekedar dipandang. sebagian lain memilih untuk mencari tempat yang aman buat keluarga mereka, bahkan sebagian yang lain ada yang terjebak hingga beberapa hari dirumah mereka.  Sedih rasanya melihat hamparan sawah menguning berubah menjadi hamparan air bak lautan. Tak dapat dibayangkan bagaimana sulitnya kondisi warga saat itu fisik juga psikologisnya.
Setelah hampir empat jam kami mengelilingi desa bagian dalam kami putuskan untuk  kembali namun terlebih dahulu kami berencana singgah kerumah sekretaris UPK di desa Belatu yang pada saat itu walaupun rumahnya tidak kebanjiran namun termasuk wilayah terisolir. Kami masuk desa Belatu melalui Desa Ahuawatu yang pada saat itu berubah menjadi pelabuhan darurat. Dengan perasaan yang tidak jelas dan langkah berat coba kami langkahkan kaki memasuki desa. Karena pada saat itu hanya diri yang kami bawa tanpa ada kepentingan pekerjaan terlebih lagi membawa bantuan. Malu rasanya, sebagai orang yang sudah dikenal sebelumnya oleh warga dalam kondisi terberat mereka tak ada yang dapat kami perbuat. Terlebih lagi pada saat itu warga sedang berkumpul menunggu datangnya bantuan dari salah satu partai. Tapi sudahlah kami coba menghibur diri menggumam dalam di dalam hati     “ tak ada yang dapat kami berbuat  bukan berarti kami tak ingin berbuat, hanya karena kondisi yang tidak memungkinkan pada saat ini, semoga mereka mengerti…..”. bahkan muka tembok yang kami pasang saat menyusuri sepanjang desa diantara tatapan orang-orang yang kami jumpai di sepanjang jalan yang seolah-olah bertanya apa yang kami bawa untuk bisa meringankan beban mereka saat itu. Tapi entah itu hanya perasaan kami saja atau bagaimana karena tak selang berapa lama kami bertemu salah seorang TPK dari desa dalam yang pada saat itu juga sedang menunggu bantuan dari salah satu parpol. Dia meminjamkan motor ojeknya pada kami dan dengan motor itulah kami ke rumah Sekretaris UPK di desa belatu. Tak ada  yang menarik di sepanjang  perjalanan kami selain air yang menggenangi rumah dan persawahan warga. Hingga kami tiba kembali diujung jalan desa Ahuawatu yang telah berubah menjadi pelabuhan darurat.
Sampainya di tempat tersebut perahu yang kami sewa dan akan membawa kami kembali belum juga datang. Sambil menunggu perahu  kembali  kami berbincang dengan beberapa warga yang lalu lalang dengan berbagai kegiatan serta mengamati beberapa anak kecil yang asik bercanda bermain air. Diantara berbincangan kami itu tiba-tiba ada beberapa orang yang turun dari perahu dan berbincang dengan PL dengan menggunakan bahasa Tolaki, pertanyaan basa-basi namun satu pertanyaan terakhir yang benar-benar terekam dalam benak kami saat mereka bertanya : “Apa yang kita bawa ?” ingin rasanya menangis seketika itu. Merasa tak mampu berbuat apa-apa untuk orang disekeliling kita dan mengenal kita. Tak selang berapa lama perahu yang kami tunggu datang dan kami lanjutkan perjalan pulang kami dengan perasaan yang tak jelas, merasa tak berguna,  malu, sedih dan entah perasaan apa lagi yang tak dapat kami namai perasaan itu.
Musibah yang mungkin bagi sebagian orang diartikan sebagai azab, sebagian lain mungkin menganggapnya sebagai teguran, sebagian lain bisa jadi mengartikannya sebagai berkah, dan sebagian lain mungkin menyikapinya sebagai hiburan gratis. Yang pasti musibah ini menyadarkan aku, bahwa sejauh ini masih banyak yang belum mampu aku lakukan sebagai wujud kepedulian kepada sesama dan apa yang membuat kita berarti adalah ketika kita bias memberi kepada sesama saat mereka membutuhkan uluran tangan kita.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More