Konawe, pnpm-konawe.blogspot.com
- Kecamatan Pondidaha adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Konawe
Propinsi Sulawesi Tenggara dengan luas Wilayah 174 Km2 dengan jumlah
Penduduk 11.205 Jiwa dengan Penduduk Laki-laki 5.661 Jiwa dan Perempuan
5.544 Jiwa dengan Kepala Keluarga berjumlah 2.782 KK dengan klasifikasi
558 KK Miskin, 43 KK Sangat Miskin dengan jumlah KK Mampu sebanyak
1.408 KK. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kecamatan Pondidaha sebanyak 17
Desa 1 Kelurahan yang terdiri dari : Desa Tirawuta, Wawolemo,
Wowalahumbuti, Amesiu, Mumundowu, Lalodangge, Wonua Mandara, Hongoa,
Puumbinisi, Lalonggotomi, Ahuawatu, Belatu, Laloika, Ambulanu,
Sulemandara, Kelurahan Pondidaha, Wonua Monapa dan Lahunggumbi. Dengan
banyaknya Desa dan Kelurahan ini Kecamatan Pondidaha dibatasi dengan
beberapa wilayah lainnya diantaranya Sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Lembo, Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Besulutu,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Landono dan Sebelah Barat
berbatasan dengan Wonggeduku.
Kecamatan
Pondidaha merupakan salah satu lokasi PNPM-PPK pada tahun 2007 yang
merupakan kebijakan pemerintah untuk mempercepat penanggulangan
kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pada Tahun 2007 Kecamatan
Pondidaha & Amonggedo mendapatkan Dana Bantuan PNPM-PPK sebesar
Rp.1.250.000.000,- Sementara itu untuk T.A. 2008 ini Kecamatan Pondidaha
& Amonggedo mendapatkan kucuran Dana sebesar Rp. 1.000.000.000,-
yang dikenal dengan nama PNPM Mandiri Perdesaan. Sedangkan untuk tahun
anggaran 2009 Kecamatan Pondidaha telah berpisah dengan Kecamatan
Amonggedo, mendapatkan alokasi dana sebesar Rp. 2.000.000.000,- (Dua
Milyar Rupiah), di TA. 2010 mendapatkan Alokasi dana sebesar Rp.
3.000.000.000,- dan Tahun Angggaran 2011 sebesar Rp. 3.000.000.000,-
(Tiga Milyar Rupiah) Namun berhubung karena tidak cairnya dana cost
sharing oleh pemda pada tahun yang dimaksud maka dana BLM 20% tahap
terakhir tidak dapat dicairkan oleh pusat sehingga dana BLM yang masuk
ke rekening BLM Kecamatan Pondidaha hanya 60% dari alokasi atau sebesar
RP. 1.800.000.000,-. Untuk tahun Anggaran 2013 Alokasi dana BLM
Kecamatan Pondidaha mengalami penurunan drastis yakni sebesar RP.
850.000.000,- Namun untuk tahun anggaran 2013 untuk program PNPM-MP
Kecamatan ini baru mulai berproses pada pertengahan bulan Mei 2013, Hal
ini dikarenakan oleh keterlambatan penempatan fasilitator yang baru
menerima Surat perintah tugas pada tanggal 10 Mei 2013 sehingga jika
dibandingkan dengan 20 kecamatan lain progress kegiatannya lebih lambat.
Setelah
kurang lebih satu tahun mengalami kekosongan fasilitator dengan
kegiatan program hanya berkutat pada kegiatan SPP. Maka pelaksanaan
Program Tahun ini sedikit menjadi lebih berat bagi fasilitator karena
harus membangun kembali koordinasi yang sudah terputus sekian lama serta
membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap program akibat
kebijakan pengurangan kecamatan pada tahun sebelumnya. Namun belum
selang lama penempatan fasilitator, pada pertengahan hingga akhir Bulan
Juli telah terjadi musibah banjir di Kecamatan Pondidaha yang
menengggelamkan 14 Desa yang ada di kecamatan ini dengan total kerugian
sebanyak 75 fasilitas umum termasuk di dalamnya Kantor desa, balai desa,
Fasilitas pemerintah yang lain, fasilitas kesehatan, rumah ibadah dan
bangunan sekolah, termasuk fasilitas umum yang sempat di bangun oleh
PNPM-MP dari tahun 2007-2011 ikut terendam banjir, 1.499 rumah, 1.155 Ha
sawah siap panen, 140 Ha kebun, 55 Ha tanaman Palawija, 9 Ha empang
habis terendam banjir, hewan piaraan dan ternak berupa: 10 ekor sapi, 37
ekor babi, 1.166 ekor ayam, 405 ekor itik, 2.250 ekor bebek mati baik
terbawa arus maupun kekurangan bahan makanan serta 25 bangsal batu merah
hancur meleleh. Bahkan padi yang sudah sempat dipanen dan sedang di
proses pengeringan di penjemuran juga ikut hanyut terbawa air hanya
beberapa saja yang mampu diselamatkan. Sebagian yang lain sudah sempat
di panen dan masuk dalam karung namun belum sempat dibawa pulang ke
rumah pun ikut terhanyut oleh banjir. Hal ini memberikan penderitaan
bagi warga mengingat bulan Juli merupakan bulan dimana anak usia sekolah
sudah mulai beraktifitas serta bertepatan dengan masuknya Bulan
ramadhan yang mana bagi penganut agama Islam memiliki kewajiban untuk
berpuasa dan menghadapi Lebaran tiba. Secara tidak langsung moment
tersebut merupakan momen yang cukup menguras persediaan financial warga
memasuki tahun ajaran baru bagi anak sekolah, belum lagi menghadapi
bulan Ramadhan yang bagi penganut agama Islam merupakan bulan istimewa
yang secara tidak langsung pengeluaran untuk kebutuhan hidup juga
istimewa baik dari segi jumlah maupun jenisnya
Mata
pencaharian mayoritas Penduduk pondidaha adalah petani dan pekebun,
awal Bulan Juli 2013 merupakan awal musim panen padi, beberapa
diantaranya hasil panen sudah pada tahap pengeringan. Namun sebagian
besar belum di panen dikarenakan sejak awal Juli bertepatan dengan musim
hujan sehingga warga menunggu cuaca yang mendukung untuk memanen padi
mereka dengan harapan memperoleh hasil dan kualitas maksimal. Hanya saja
sejak minggu ke dua hujan tak henti mengguyur kecamatan Pondidaha yang
berakibat pada meluapnya dua sungai yakni sungai Konaweeha dan sungai
Lahumbuti meluap dan menenggelamkan 14 Desa di kecamatan Pondidaha dan
beberapa desa di kecamatan sekitarnya. Kondisi ini merupakan musibah
banjir terburuk yang menimpa kecamatan Pondidaha dalam beberapa tahun
terahir. yang mana debit air yang menggenang mencapai ketinggian 2
meter lebih, atau setinggi atap rumah penduduk sehingga warga desa yang
terendam banjir mengungsi ke desa yang memiliki wilayah ketinggian atau
membuat tenda-tenda darurat di tanggul-tanggul sawah di pinggir desa dan
kondisi ini masih berlangsung hingga akhir Juli 2013
Aktifitas
warga terhambat dikarenakan akses transportasi terputus, untuk mencapai
satu desa ke desa lain terutama desa-desa yang ada di bagian dalam
harus menggunakan transportasi alternatif berupa rakit baik yang terbuat
dari batang pisang ataupun ban mobil serta Katinting. Untuk sarana
Transportasi Katinting ini tarifnya cukup mahal yakin Rp. 25.000,-
satu kali menyeberang untuk rute Desa Mumundowu-ahuawatu. Yang biasanya
hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk menempuh rute tersebut.
Sedangkan untuk menuju desa yang lebih jauh tarif juga menyesuaikan.
Sehingga hal ini juga menambah penderitaan warga desa bagian dalam
secara khusus dan warga masyarakat lain yang memiliki keperluan ke desa
dalam secara umum. Bagi warga desa dalam jangankan untuk mengeluarkan
biaya transportasi, untuk kebutuhan makan keseharian pun stok pangan
sudah menipis serta mengharap bantuan dari luar.
Foto: DOC FK/FT Pondidaha |
Sehingga
hal ini secara tidak langsung menghambat pelaksanaan tahapan program
PNPM-MP tahun anggaran 2013 baik tahap perencanaan ataupun pelatihan
yang seharusnya dapat terselesaikan pada bulan ini termasuk juga
berpengaruh terhadap progres pengembalian SPP Kecamatan pondidaha.
Sebagai
fasilitator yang ditugaskan, tentu saja ada teguran lisan dari pihak
kabupaten terkait dengan keterlambatan progres. Beberapa kali kami
diingatkan agar progres tetap jalan namun kami juga bingung, tahapan
mana yang dapat kami laksanakan ditengah-tengah banjir dengan ketinggian
hampir 2 meter di 14 desa dari total 18 desa yang ada di kecamatan?.
Ditengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki persediaan makanan yang
cukup, yang berharap panen namun gagal, yang dengan tiba-tiba di terpa
musibah banjir tak terduga hanya dalam hitungan jam?. Ditengah
kebingunan karena progres tidak jalan itu ahirnya kami (FK-P dan PL)
memutuskan untuk melakukan survey di desa bagian dalam yang merupakan
wilayah terparah yang terkena banjir. Untuk menghemat biaya sewa
penyeberangan dan agar lebih banyak daerah yang bisa kami jangkau maka
kami menyewa perahu kecil milik warga sekitar dengan tarif yang telah
kami sepakati bersama. Hampir setengah hari kami mengelilingi desa
bagian dalam tanpa turun dari perahu karena rata-rata kedalaman air baik
di jalan maupun di pemukiman warga hampir mencapai 2 meter bahkan
lebih. Hanya beberapa warga yang dapat kami jumpai bertahan di rumah
masing-masing itupun dengan alasan mereka menghawatirkan harta benda
mereka yang masih tersisa yang bisa diselamatkan dari genangan air.
Karena ternyata ditengah musibah seperti itupun masih ada juga yang tega
mencuri dan melakukan penjarahan. Kasian memang ibarat sudah jatuh di
timpa tangga pula.
Teman-teman
pelaku tingkat desa hanya beberapa saja yang dapat kami jumpai adapun
yang masih bertahan mereka membuat panggung-panggung darurat juga rakit
darurat dari kayu atau batang pohon pisang yang bisa mereka peroleh.
Tidur ditengah-tengah barang mereka yang masih tersisa dalam kondisi
yang sama sekali jauh dari kenyamanan bahkan untuk sekedar dipandang.
sebagian lain memilih untuk mencari tempat yang aman buat keluarga
mereka, bahkan sebagian yang lain ada yang terjebak hingga beberapa hari
dirumah mereka. Sedih rasanya melihat hamparan sawah menguning berubah
menjadi hamparan air bak lautan. Tak dapat dibayangkan bagaimana
sulitnya kondisi warga saat itu fisik juga psikologisnya.
Setelah
hampir empat jam kami mengelilingi desa bagian dalam kami putuskan
untuk kembali namun terlebih dahulu kami berencana singgah kerumah
sekretaris UPK di desa Belatu yang pada saat itu walaupun rumahnya tidak
kebanjiran namun termasuk wilayah terisolir. Kami masuk desa Belatu
melalui Desa Ahuawatu yang pada saat itu berubah menjadi pelabuhan
darurat. Dengan perasaan yang tidak jelas dan langkah berat coba kami
langkahkan kaki memasuki desa. Karena pada saat itu hanya diri yang kami
bawa tanpa ada kepentingan pekerjaan terlebih lagi membawa bantuan.
Malu rasanya, sebagai orang yang sudah dikenal sebelumnya oleh warga
dalam kondisi terberat mereka tak ada yang dapat kami perbuat. Terlebih
lagi pada saat itu warga sedang berkumpul menunggu datangnya bantuan
dari salah satu partai. Tapi sudahlah kami coba menghibur diri menggumam
dalam di dalam hati “ tak ada yang dapat kami berbuat bukan
berarti kami tak ingin berbuat, hanya karena kondisi yang tidak
memungkinkan pada saat ini, semoga mereka mengerti…..”. bahkan muka
tembok yang kami pasang saat menyusuri sepanjang desa diantara tatapan
orang-orang yang kami jumpai di sepanjang jalan yang seolah-olah
bertanya apa yang kami bawa untuk bisa meringankan beban mereka saat
itu. Tapi entah itu hanya perasaan kami saja atau bagaimana karena tak
selang berapa lama kami bertemu salah seorang TPK dari desa dalam yang
pada saat itu juga sedang menunggu bantuan dari salah satu parpol. Dia
meminjamkan motor ojeknya pada kami dan dengan motor itulah kami ke
rumah Sekretaris UPK di desa belatu. Tak ada yang menarik di sepanjang
perjalanan kami selain air yang menggenangi rumah dan persawahan warga.
Hingga kami tiba kembali diujung jalan desa Ahuawatu yang telah berubah
menjadi pelabuhan darurat.
Sampainya
di tempat tersebut perahu yang kami sewa dan akan membawa kami kembali
belum juga datang. Sambil menunggu perahu kembali kami berbincang
dengan beberapa warga yang lalu lalang dengan berbagai kegiatan serta
mengamati beberapa anak kecil yang asik bercanda bermain air. Diantara
berbincangan kami itu tiba-tiba ada beberapa orang yang turun dari
perahu dan berbincang dengan PL dengan menggunakan bahasa Tolaki,
pertanyaan basa-basi namun satu pertanyaan terakhir yang benar-benar
terekam dalam benak kami saat mereka bertanya : “Apa yang kita bawa ?”
ingin rasanya menangis seketika itu. Merasa tak mampu berbuat apa-apa
untuk orang disekeliling kita dan mengenal kita. Tak selang berapa lama
perahu yang kami tunggu datang dan kami lanjutkan perjalan pulang kami
dengan perasaan yang tak jelas, merasa tak berguna, malu, sedih dan
entah perasaan apa lagi yang tak dapat kami namai perasaan itu.
Musibah
yang mungkin bagi sebagian orang diartikan sebagai azab, sebagian lain
mungkin menganggapnya sebagai teguran, sebagian lain bisa jadi
mengartikannya sebagai berkah, dan sebagian lain mungkin menyikapinya
sebagai hiburan gratis. Yang pasti musibah ini menyadarkan aku, bahwa
sejauh ini masih banyak yang belum mampu aku lakukan sebagai wujud
kepedulian kepada sesama dan apa yang membuat kita berarti adalah ketika
kita bias memberi kepada sesama saat mereka membutuhkan uluran tangan
kita.